Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung
Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari
INI ADALAH BUKU LUAR BIASA! Betapa tidak? Buku ini menceritakan sejarah Indonesia dalam rentang 9 abad mulai dari abad 4 Sebelum Masehi (SM) sampai abad ke 5 Masehi. Sampai saat ini, tidak ada referensi yang jelas tentang kondisi kehidupan masyarakat Indonesia pada waktu itu, kecuali catatan yang tidak lengkap tentang kerajaan tertua di Indonesia yaitu Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kutai di Kalimantan Timur. Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini memang menceritakan nenek moyang dari dua kerajaan tadi, dalam a bahasa yang sangat-sangat mudah dipahami. Sehingga tidak heran bila ada yang menyebutnya sebagai novel sejarah.
Bila Buku Negara Kertagama tulisan Mpu Tantular dianggap sebagai sumber sejarah Kerajaan Majapahit pada abad 12 – 13 Masehi, maka buku ini lebih dari itu. Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung, tulisan PENULIS (Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari) ini menceritakan kehidupan yang lebih kuno lagi. Bahkan rencananya, setelah buku ini, akan diterbitkan buku-buku lainnya yang mengungkapkan sejarah atau kehidupan bangsa ini sampai para periode terakhir, termasuk era penjajahan Belanda dan Jepang.
Dalam buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini kita bisa mengetahui banyak hal yang sebelumnya tidak kita ketahui, misalnya:
1. Nenek moyang bangsa kita ternyata berasal dari keturunan Manusia Yaksa (yang bisa dianggap sebagai penduduk asli Nusantara) yang kemudian melakukan perkawinan dengan
keturunan India dan Cina. Dalam buku ini diceritakan postur tubuh dari manusia Yaksa, perilaku dan kehidupan sehari-sehari mereka. Manusia Yaksa ini sudah berada di Nusantara sejak 10.000 tahun sebelum tahun Saka. Bahkan diceritakan juga kehidupan manusia purba sekitar sejuta tahun yang lalu, Manusia Buncang, yang berperilaku mirip hewan. Siapa yang bisa menceritakan tentang manusia purba kita?
2. Sebelum Kerajaan Tarumanegara ataupun Kutai berkuasa di Nusantara ini ada kerajaan besar lain, yaitu Kerajaan Caringin Kurung yang berada di Puncak Manik, Gunung Handalus (yang sekarang dikenal sebagai Gunung Salak, Bogor). Inilah nenek moyang dari bangsa Indonesia. Karena ternyata Raja Mulawarman dari Kerajaan Lunggai (sekarang disebut Kutai)
adalah keturunan dari Raja Caringin Kurung ke – 4 dan dia adalah mertua dari Raja Purnawarman dari Tarumanegara. Era Kerajaan Caringin Kurung ini merentang sejak Raja Caringin Kurung ke-I sampai XIII, dari abad 4 sebelum Masehi sampai abad 2 sesudah Masehi. Ini ada periode terlama suatu dinasti berkuasa, yaitu selama 6 abad atau 600 tahun, karena baik Dinasti Majapahit, ataupun Mataram tidak pernah berkuasa secara efektif lebih dari 2 abad. Atas dasar ini keyakinan yang dipercaya saat ini yang mengatakan orang Jawa lebih tua dari orang Sunda adalah tidak benar, karena terbukti nenek moyang orang Jawa justru berasal dari Bogor, Jawa Barat.
3. Buku ini mengungkapkan bahwa pada masa awal abad Masehi, nenek moyang kita sudah mempunyai bahasa baca tulis, yaitu Bahasa Karan dengan Huruf Darung. Bahkan kamus singkat Bahasa Karan – Indonesia juga disertakan dalam Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini, untuk memberikan gambaran kepada kita tentang Bahasa Karan ini seperti apa, termasuk abjad Aksara Darung-nya. Huruf atau Aksara Darung benar-benar asli Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya saling mempengaruhi dengan Huruf Palawa. Sehingga tidak heran banyak ahli sejarah bingung membaca prasasti kuno yang ada, karena tulisannya bukan hanya berhuruf Palawa tetapi juga berhuruf Darung yang tidak dikenal oleh para ahli sejarah. Struktur
Bahasa Karan sendiri sama dan mirip dengan struktur Bahasa Indonesia sekarang ini. Ini sesuatu yang wajar karena bahasa Indonesia memang merupakan metamorfosis dari Bahasa Karan. Melalui Buku ini, dimana kamus Terjemahan Bahasa Karan dan Indonesia disertakan, terbuka kemungkinan untuk menghidupkan kembali Bahasa Karan sehingga bisa digunakan dalam percakapan sehari-hari saat ini.
4. Ternyata Agama Hindu justru berkembang di Indonesia terlebih dulu, sebelum kemudian menyebar meluas di India. Pada abad ke 4 – 5 Masehi, baik di era Kerajaan Tarumanegara ataupun Kerajaan Lunggai, dimana rajanya merupakan pemeluk Agama Syiwa yang fanatik, ternyata hewan sapi waktu itu belum menjadi mahluk yang sakral seperti sekarang ini oleh pemeluk Agama Hindu, karena mereka justru melakukan kurban dengan ratusan sapi. Walaupun demikian Raja-raja Caringin Kurung tetap saja berpegang kepada keyakinan nenek moyangnya yaitu mempercayai Animisme yang percaya kepada kekuatan alam makrokosmos maupun mikrokosmos.
5. Buku ini menceritakan pula tentang kehebatan dan kesaktian nenek moyang kita, termasuk awal muasalnya suatu ilmu. Bukan hanya itu, bahkan nama ilmu dari masing-masing tokohpun diuraikan dengan sangat jelas. Termasuk misalnya tentang legenda Ratu Galuh yang bisa terbang mendatar seperti tokoh Superman dalam dongeng budaya Barat, ataupun kehebatan Prabu Sedah Renggana (yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi) yang dalam usia 9 tahun telah mampu menaklukan Raja Siluman Harimau. Atau Prabu Langgatamaran yang dengan sangat mudahnya mampu mengalahkan tokoh jahat dari Timur Tengah. Belum lagi tentang asal mulanya Ilmu Santet dan siapa tokoh utamanya.
6. Dalam buku ini silsilah para raja-raja ditulis dengan sangat rinci. Sesuatu yang bahkan dalam buku sejarah resmi sekalipun tidak ada dan tidak bisa lakukan. Bahkan tahun lahir, ataupun masa pemerintahan siapa dari tahun berapa sampai berapa. Ini memang buku sejarah, sehingga silsilah nenek moyang Raja Kutai di Kalimantan Timur bisa dilacak sampai ke era Kerajaan Caringin Kurung di Jawa Barat dalam rentang waktu 100 – 200 tahun sebelumnya.
7. Sesuatu yang semula dianggap dongeng rakyat, ternyata berasal dari kejadian yang sebenarnya dan bisa diketahui dengan sangat jelas dan lengkap. Kisah Nyi Blorong, misalnya selama ini dianggap hanya dongeng semata. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Nyi Blorong adalah sebutan untuk Nyimas Dewi Anggatari, anak dari Nyimas Dewi Rangkita (yang dikenal sebagai Ratu Galuh), anak dari Nyimas Dewi Anggista, putri bungsu dari Raja Caringin Kurung ke-XI, Prabu Jaya Cakra. Bukan hanya itu, buku ini mengungkapkan secara rinci kehidupan dari sejak kecil sampai mengapa dia kemudian dikenal sebagai Nyi Blorong yang mampu memberikan kekayaan atau pesugihan ngipri. Jadi kisahkisah tentang Nyi Blorong yang dikenal saat ini, misalnya disebutkan dia adalah anak dari Nyi Roro Kidul, adalah suatu kebohongan yang nyata.
8. Buku ini juga menceritakan uraian yang sangat rinci tentang Pusaka Keris dan Kujang. Mulai dari jenis-jenisnya, proses pembuatannya, serta tuah dari masing-masing pusaka. Bahkan ahli keris di jaman sekarang ini sekalipun tidak akan tahu asal muasalnya keris ataupun pusaka lainnya, termasuk misalnya siapa yang pertama kali membuatnya.
9. Tidak itu saja. Buku ini juga menceritakan siapa nenek moyang dari suatu daerah atau kota, termasuk nama kunonya kota tersebut. Sehingga kita yang berasal dari suatu daerah dengan sangat mudah akan mengetahui siapa sebenarnya nenek moyang kita dan berasal dari mana. Misalnya nama kota Bogor dulunya bernama Boggorang, yang berarti tempat pertemuan dalam Bahasa Karan. Siapa yang tahu bahwa nama kuno dari Tangerang adalah Magapata. Atau Kalabah sebagai nama kuno dari Serang? Atau siapa yang tahu nama Gunung Merapi di Jawa Tengah pada awal abad Masehi? Gunung Klangi!!
10. Yang luar biasa, siapa yang bisa memberikan gambar dari masing-masing tokoh utama sejarah selain di buku ini. Termasuk gambaran seperti apa Istana Caringin Kurung atau Istana Tarumanegara. Atau seperti apa gambaran tokoh Ki Sambakala, Patih penghianat yang iri dan benci kepada Patih Ki Badranaya, yang turut serta menghancurkan Kerajaan Tarumanegara.
11. Dan banyak lagi hal lainnya, tetapi lebih dari itu semuanya, buku ini sangat enak dibaca dan menarik. Seluruh kehidupan manusia diceritakan dengan sempurna, mulai dari kisah cinta, kebencian, harapan, putus asa, ketabahan, misteri dan lainnya. Bahkan banyak dijumpai kisah cinta dramatis yang tidak kalah atau bahkan lebih seru dari kisah klasik yang selama ini dikenal seperti Romeo and Juliet, misalnya. Dijamin anda tidak ingin berhenti sampai seluruh seribu halaman dan lebih ini bisa dibaca sekaligus.
BUKU INI MEMANG MENARIK, karena ditulis oleh PENULIS, seorang tokoh utama spiritualisme Islam. Hanya atas dasar latar belakang keilmuan penulis sajalah, buku ini bisa direalisasikan. Tetapi justru karena itulah buku ini menjadi sangat menarik. Selain hasil tulisannya, proses penulisan bukunya sendiri merupakan suatu kisah yang sangat menarik untuk diceritakan. Buku sejarah pada umumnya ditulis berdasarkan bukti-bukti yang ada. Mungkin dari peninggalan atau tanda-tanda yang dijumpai, atau berdasar catatan-catatan yang kemudian di interpretasikan. Interpretasi atau pandangan subyektif penulis sejarah menjadi penting karena seringkali bukti-bukti yang ada tidaklah runtun ataupun lengkap. Contohnya dalam kasus penentuan lokasi Kerajaan Tarumanegara berdasar prasasti yang ditemukan. Hanya saja karena jumlah prasastinya banyak ditemukan di banyak tempat maka para ahli sejarah mengalami kebingungan dalam menetapkan lokasi kerajaan. Padahal pada kenyataannya Raja Purnawarman memang membuat banyak prasasti di batas-batas kerajaannya serta tempat-tempat penting lainnya. Kerajaannya sendiri berada di sekitar Ciaruteun Ilir, disekitar Ciampea - Bogor.
Lain dengan metoda yang digunakan para ahli sejarah, penulis buku ini, menggunakan pendekatan yang sangat berbeda sekali. Penulis “memanggil” pelaku sejarah dan memintanya bercerita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Tentu saja dalam beberapa kasus, misalnya kisah tentang seseorang sewaktu masih kecil yang tentu dia tidak ingat apa yang terjadi, maka dalam hal ini si ibunyalah yang diminta untuk menceritakan apa yang terjadi dengan anaknya tadi. Kemudian penulis menceritakan ulang kepada kami yang langsung kami ketik di komputer. Penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan ini tentulah sangat akurat, karena sumbernya berasal dari data primer, bukan data sekunder, yaitu dari si pelakunya sendiri. Bukankah tidak ada yang lebih mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, selain tentunya mereka yang mengalami kejadiannya itu sendiri? Permasalahannya adalah siapa yang mampu memanggil si pelaku sejarah, padahal si tokoh sejarah berada di jaman yang lain, yang bisa saja jaraknya ribuan tahun yang lalu. Selain tentunya juga berada di lokasi yang lain, yang jaraknya bisa saja ribuan kilometer terpisahnya.
Disinilah keunggulan penulis. Sebagai seorang tokoh utama spiritualisme Islam, penulis menguasai dengan sangat baik seluruh ilmu-ilmu yang berlandaskan ajaran dan tuntunan Agama Islam, yang tertulis di dalam Al Qur’anul Kariim. Penulisan sejarah seperti ini bukanlah semacam seminar dimana para ahli sejarah diundang dari berbagai negara, tetapi lebih merupakan seminar yang dihadiri oleh para pelaku sejarah yang datang dari berbagai jaman. Atau dengan menggunakan logika yang sama, hal ini sama dengan perjalanan penulis ke masa lampau untuk mengumpulkan bahanbahan tulisannya.
Membayangkan hal seperti ini, untuk kita yang hidup di jaman serba materialistis seperti sekarang ini, tentulah bukan hal yang mudah. Kita ini semakin jauh dari semangat ataupun pengetahuan tentang spiritualisme, apalagi akar pendidikan kita lebih banyak berasal dari Barat yang memang sangat materialistis, sedangkan ilmu-ilmu spiritualisme yang digunakan oleh penulis, justru berasal dari akar ilmu ghoib keislaman. Bahkan buat mereka yang sudah mempelajari ilmu ghoib dalam beberapa tahunpun, kemampuan penulis seperti ini, tetap sangat-sangat mencengangkan dan mengagumkan.
Memanggil “ruh”, sudah umum diketahui, walaupun untuk beberapa kelompok masyarakat hal inipun tetap baru dalam tahapan teoritis, tetapi memanggil para tokoh sejarah, yang berpredikat Raja dan Ratu – bukan lagi peringkat Embah atau Eyang, yang tentunya sangat berilmu dan sakti-sakti, tentu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemampuan yang lebih mumpuni dari mereka. Sehingga para tokoh bisa dipaksa untuk datang. Meminta mereka bercerita, kemudian mengkonfirmasikan seluruh ceritanya, sehingga menjadi masuk akal dan tidak bertolak belakang.
Jadi sangat jelas buku ini merupakan suatu hasil karya dari orang yang mempunyai ilmu yang sangat-sangat luar biasa. Penulis, bukan saja merupakan tokoh utama spiritualisme Islam, tetapi terlebih adalah seorang Guru Besar yang mempunyai murid jutaan orang yang tersebar di seluruh Nusantara, maupun bagian dunia lainnya. Sehingga apa yang dituliskannya di dalam buku ini menjadi sesuatu yang wajar saja bagi beliau. Buat kami yang membantu penulis, proses pembuatan buku ini benar-benar merupakan pengalaman spiritual yang menarik. Penulis seringkali duduk bersama kami di depan komputer, sementara saya (ataupun teman lainnya yang membantu) menekan tuts keyboard komputer, penulis dengan sangat santainya “bercerita”. Ini benar-benar bercerita, seperti orang tua bercerita kepada anaknya sebelum tidur. Hanya saja yang diceritakan merupakan suatu seri kejadian yang sangat-sangat lengkap. Komplit dengan silsilah, tahun kejadian, serta latar belakang mengapa kejadian itu terjadi. Memang seringkali penulis terdiam sesaat, dan kamipun diam tidak berani bertanya apapun, karena kami tahu penulis sedang melakukan dialog atau komunikasi secara ghoib dengan pelaku sejarah. Seringkali kami juga merasakan “kehadiran” si pelaku sejarah. Tidak hanya dalam bentuk rasa atau sir, dimana bulu roma berdiri, tetapi juga seringkali dalam bentuk wujud bayangan-bayangan orang yang berada di sekitar kami. Mungkin tidak terbayangkan, penulis, bisa bercerita, dari pagi sampai tengah malam. Itu artinya lebih dari 18 jam sehari!!! Kami sudah kelenger, dan bisa bergantian beberapa orang untuk mengetikkan, sementara beliau tetap bersemangat dan terus bercerita. Dan proses penulisan ini berjalan lebih dari setahun, dengan intensitas seperti itu. Luar biasa!!!
Jujur saja, kami sangat senang dan antusias mendengarkan cerita penulis, karena apa yang kami dengar adalah hal yang baru. Bukankah ini adalah terbukanya tabir masa lampau? Dan kami adalah orang kedua yang tahu setelah beliau. Kami serasa pergi sendiri ke masa lampau. Pada saat penulis menceritakan kisah Putra Mahkota Raja Tarumanegara (Pangeran Jaya Rangkala) yang bersembunyi di kolong rumah menunggu kekasihnya (Nyi Ranjali), seakan kamilah yang berada di kolong rumah dengan penuh harap dan kecemasan. Pada saat kisah Nyi Blorong selesai ditulis, kami semua sangat prihatin dan ikut sedih dengan perjalanan hidupnya yang penuh penderitaan. Simpati kami, kami berikan kepada Dewi Anggista dan Pangeran Saka Waskita, saat saudara-saudara tuanya memusuhi dan merendahkan mereka. Kami ikut sedih saat Pangeran Mada Setra tidak direstui ayahnya, Prabu Langgatamaran, untuk menikah dengan Putri Raban. Betapa tidak sedih bila mereka dikutuk tidak punya anak, dan harus menunggu hampir 400 tahun lebih untuk punya anak. Itupun mereka sudah dalam wujud ruh, sehingga anaknya harus dititipkan kepada sepasang petani, karena tidak mungkin sepasang ruh mengasuh anak bayi manusia. Kami juga jengkel dengan Prabu Lawaka Dangga, adik dari Prabu Sedah Renggana, yang menyebabkan pertempuran dengan Prabu Kian Santang, anak Prabu Sedah Renggana. Bahkan kamipun “bersimpati” dengan beberapa tokoh hitam dalam buku ini. Sanghyang Jagad Pramundita menjadi jahat karena orang tuanya dibunuh secara kejam. Ki Danggili (tokoh awal pesugihan Banggul) berubah menjadi jahat karena keluarganya dibantai dan dihinakan.
Kisah dalam buku ini memang sangat “menghanyutkan”. Kami kecewa dan sedih dengan hancurnya Kerajaan Kutai maupun Kerajaan Tarumanegara. Betapapun, bagaimanapun kondisi
kelakuan mereka saat hidup, mereka adalah nenek moyang kita. Kami bisa hidup sekarang karena mereka pernah ada. Rasanya tidak pantas kami menghakimi apalagi menyalahkan pilihan hidup mereka, sementara kami tahu latar belakang pilihan mereka. Kami hanya bisa maklum dan mencoba mengerti apapun pilihan mereka. Siapa yang bilang kami akan lebih baik dari mereka, bila kami menghadapi kejadian dan pilihan yang sama? Bukankah itu hakikat dari sejarah? Kita manusia harus belajar dari kesalahan manusia lainnya, yang mungkin saja mereka
justru orang tua, nenek atau bapak moyang kita. Kami merasa pesan itulah yang ingin disampaikan oleh penulis, agar manusia sekarang belajar dari manusia masa lampau. Bukankah kita bisa menghindari perbuatan jelek bila kita tahu mana yang jelek dan mana yang baik? Bukankah sebelum kita tahu kita mau pergi kemana, kita harus tahu lebih dahulu kita ini berasal dari mana? Buat apa kita selalu bertengkar, bukankah kita ini sebenarnya berasal dari satu nenek moyang. Kita ini masih satu darah? Bukankah masa depan itu merupakan bagian dari masa lampau? Kami yakin para pembaca akan merasakan apa yang kami rasakan, setelah membaca seluruh 1400 halaman lebih buku ini. Kami paham bahwa tidaklah mudah untuk meyakini dan menerima seutuhnya bahwa buku ini adalah buku sejarah. Bahwa buku ini menceritakan fakta dan kejadian sesungguhnya. Kalau memang anda tidak berpendapat seperti itu, tak apa. Mari kita lupakan sisi sejarahnya. Tetapi saya yakin satu hal, bahwa buku ini adalah buku yang sangat menarik untuk dibaca. Saya sudah mengeditnya berkali-kali; saya sudah membacanya lebih dari 10 kali, akan tetapi tetap saja saya sangat senang membacanya lagi.
Ada banyak kisah terputus yang belum tuntas diceritakan dalam Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini. Misalnya tentang kehidupan Prabu Sedah Renggana maupun Prabu Kian
Santang, yang hanya diceritakan sedikit saja. Begitu juga perihal kelanjutan Kerajaan Caringin Kurung, mengapa ujungnya harus dipimpin oleh seorang wanita, Nyimas Dewi Saraswati, sebagai Raja Caringin Kurung ke-XIII.
Seperti juga anda, pembaca, kamipun sangat berharap penulis, bersedia mengungkap seluruh kejadian sejarah bangsa ini. Agar semuanya menjadi jelas. Sebab misalnya sulit menerima kenyataan mengapa bangsa Belanda yang jumlahnya sedikit bisa-bisanya menguasai bangsa ini selama lebih dari 3,5 abad. Pasti ada sesuatu yang kita tidak tahu, sehingga bangsa ini mudah diadu domba oleh bangsa lain. Apa yang dituliskan oleh PENULIS , merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa ini. Kita bisa tahu lebih jelas, siapa, mengapanya bangsa ini. Saya yakin buku ini akan tetap dibaca oleh anak cucu kita, mungkin sampai 100 atau 1000 tahun mendatang atau lebih. Bukankah mengetahui sejarah atau masa lampau itu berarti mengetahui siapa jati diri kita ini? Dan jika sudah mengetahui siapa jati diri kita, maka kitapun akan mengetahui siapa Tuhan kita dengan sebenar-benarnya.***
Pengantar oleh:
LISMAN SUMARDJANI, ir, MBA
Editor Penulisan Buku
Bila Buku Negara Kertagama tulisan Mpu Tantular dianggap sebagai sumber sejarah Kerajaan Majapahit pada abad 12 – 13 Masehi, maka buku ini lebih dari itu. Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung, tulisan PENULIS (Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari) ini menceritakan kehidupan yang lebih kuno lagi. Bahkan rencananya, setelah buku ini, akan diterbitkan buku-buku lainnya yang mengungkapkan sejarah atau kehidupan bangsa ini sampai para periode terakhir, termasuk era penjajahan Belanda dan Jepang.
Dalam buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini kita bisa mengetahui banyak hal yang sebelumnya tidak kita ketahui, misalnya:
1. Nenek moyang bangsa kita ternyata berasal dari keturunan Manusia Yaksa (yang bisa dianggap sebagai penduduk asli Nusantara) yang kemudian melakukan perkawinan dengan
keturunan India dan Cina. Dalam buku ini diceritakan postur tubuh dari manusia Yaksa, perilaku dan kehidupan sehari-sehari mereka. Manusia Yaksa ini sudah berada di Nusantara sejak 10.000 tahun sebelum tahun Saka. Bahkan diceritakan juga kehidupan manusia purba sekitar sejuta tahun yang lalu, Manusia Buncang, yang berperilaku mirip hewan. Siapa yang bisa menceritakan tentang manusia purba kita?
2. Sebelum Kerajaan Tarumanegara ataupun Kutai berkuasa di Nusantara ini ada kerajaan besar lain, yaitu Kerajaan Caringin Kurung yang berada di Puncak Manik, Gunung Handalus (yang sekarang dikenal sebagai Gunung Salak, Bogor). Inilah nenek moyang dari bangsa Indonesia. Karena ternyata Raja Mulawarman dari Kerajaan Lunggai (sekarang disebut Kutai)
adalah keturunan dari Raja Caringin Kurung ke – 4 dan dia adalah mertua dari Raja Purnawarman dari Tarumanegara. Era Kerajaan Caringin Kurung ini merentang sejak Raja Caringin Kurung ke-I sampai XIII, dari abad 4 sebelum Masehi sampai abad 2 sesudah Masehi. Ini ada periode terlama suatu dinasti berkuasa, yaitu selama 6 abad atau 600 tahun, karena baik Dinasti Majapahit, ataupun Mataram tidak pernah berkuasa secara efektif lebih dari 2 abad. Atas dasar ini keyakinan yang dipercaya saat ini yang mengatakan orang Jawa lebih tua dari orang Sunda adalah tidak benar, karena terbukti nenek moyang orang Jawa justru berasal dari Bogor, Jawa Barat.
3. Buku ini mengungkapkan bahwa pada masa awal abad Masehi, nenek moyang kita sudah mempunyai bahasa baca tulis, yaitu Bahasa Karan dengan Huruf Darung. Bahkan kamus singkat Bahasa Karan – Indonesia juga disertakan dalam Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini, untuk memberikan gambaran kepada kita tentang Bahasa Karan ini seperti apa, termasuk abjad Aksara Darung-nya. Huruf atau Aksara Darung benar-benar asli Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya saling mempengaruhi dengan Huruf Palawa. Sehingga tidak heran banyak ahli sejarah bingung membaca prasasti kuno yang ada, karena tulisannya bukan hanya berhuruf Palawa tetapi juga berhuruf Darung yang tidak dikenal oleh para ahli sejarah. Struktur
Bahasa Karan sendiri sama dan mirip dengan struktur Bahasa Indonesia sekarang ini. Ini sesuatu yang wajar karena bahasa Indonesia memang merupakan metamorfosis dari Bahasa Karan. Melalui Buku ini, dimana kamus Terjemahan Bahasa Karan dan Indonesia disertakan, terbuka kemungkinan untuk menghidupkan kembali Bahasa Karan sehingga bisa digunakan dalam percakapan sehari-hari saat ini.
4. Ternyata Agama Hindu justru berkembang di Indonesia terlebih dulu, sebelum kemudian menyebar meluas di India. Pada abad ke 4 – 5 Masehi, baik di era Kerajaan Tarumanegara ataupun Kerajaan Lunggai, dimana rajanya merupakan pemeluk Agama Syiwa yang fanatik, ternyata hewan sapi waktu itu belum menjadi mahluk yang sakral seperti sekarang ini oleh pemeluk Agama Hindu, karena mereka justru melakukan kurban dengan ratusan sapi. Walaupun demikian Raja-raja Caringin Kurung tetap saja berpegang kepada keyakinan nenek moyangnya yaitu mempercayai Animisme yang percaya kepada kekuatan alam makrokosmos maupun mikrokosmos.
5. Buku ini menceritakan pula tentang kehebatan dan kesaktian nenek moyang kita, termasuk awal muasalnya suatu ilmu. Bukan hanya itu, bahkan nama ilmu dari masing-masing tokohpun diuraikan dengan sangat jelas. Termasuk misalnya tentang legenda Ratu Galuh yang bisa terbang mendatar seperti tokoh Superman dalam dongeng budaya Barat, ataupun kehebatan Prabu Sedah Renggana (yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi) yang dalam usia 9 tahun telah mampu menaklukan Raja Siluman Harimau. Atau Prabu Langgatamaran yang dengan sangat mudahnya mampu mengalahkan tokoh jahat dari Timur Tengah. Belum lagi tentang asal mulanya Ilmu Santet dan siapa tokoh utamanya.
6. Dalam buku ini silsilah para raja-raja ditulis dengan sangat rinci. Sesuatu yang bahkan dalam buku sejarah resmi sekalipun tidak ada dan tidak bisa lakukan. Bahkan tahun lahir, ataupun masa pemerintahan siapa dari tahun berapa sampai berapa. Ini memang buku sejarah, sehingga silsilah nenek moyang Raja Kutai di Kalimantan Timur bisa dilacak sampai ke era Kerajaan Caringin Kurung di Jawa Barat dalam rentang waktu 100 – 200 tahun sebelumnya.
7. Sesuatu yang semula dianggap dongeng rakyat, ternyata berasal dari kejadian yang sebenarnya dan bisa diketahui dengan sangat jelas dan lengkap. Kisah Nyi Blorong, misalnya selama ini dianggap hanya dongeng semata. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Nyi Blorong adalah sebutan untuk Nyimas Dewi Anggatari, anak dari Nyimas Dewi Rangkita (yang dikenal sebagai Ratu Galuh), anak dari Nyimas Dewi Anggista, putri bungsu dari Raja Caringin Kurung ke-XI, Prabu Jaya Cakra. Bukan hanya itu, buku ini mengungkapkan secara rinci kehidupan dari sejak kecil sampai mengapa dia kemudian dikenal sebagai Nyi Blorong yang mampu memberikan kekayaan atau pesugihan ngipri. Jadi kisahkisah tentang Nyi Blorong yang dikenal saat ini, misalnya disebutkan dia adalah anak dari Nyi Roro Kidul, adalah suatu kebohongan yang nyata.
8. Buku ini juga menceritakan uraian yang sangat rinci tentang Pusaka Keris dan Kujang. Mulai dari jenis-jenisnya, proses pembuatannya, serta tuah dari masing-masing pusaka. Bahkan ahli keris di jaman sekarang ini sekalipun tidak akan tahu asal muasalnya keris ataupun pusaka lainnya, termasuk misalnya siapa yang pertama kali membuatnya.
9. Tidak itu saja. Buku ini juga menceritakan siapa nenek moyang dari suatu daerah atau kota, termasuk nama kunonya kota tersebut. Sehingga kita yang berasal dari suatu daerah dengan sangat mudah akan mengetahui siapa sebenarnya nenek moyang kita dan berasal dari mana. Misalnya nama kota Bogor dulunya bernama Boggorang, yang berarti tempat pertemuan dalam Bahasa Karan. Siapa yang tahu bahwa nama kuno dari Tangerang adalah Magapata. Atau Kalabah sebagai nama kuno dari Serang? Atau siapa yang tahu nama Gunung Merapi di Jawa Tengah pada awal abad Masehi? Gunung Klangi!!
10. Yang luar biasa, siapa yang bisa memberikan gambar dari masing-masing tokoh utama sejarah selain di buku ini. Termasuk gambaran seperti apa Istana Caringin Kurung atau Istana Tarumanegara. Atau seperti apa gambaran tokoh Ki Sambakala, Patih penghianat yang iri dan benci kepada Patih Ki Badranaya, yang turut serta menghancurkan Kerajaan Tarumanegara.
11. Dan banyak lagi hal lainnya, tetapi lebih dari itu semuanya, buku ini sangat enak dibaca dan menarik. Seluruh kehidupan manusia diceritakan dengan sempurna, mulai dari kisah cinta, kebencian, harapan, putus asa, ketabahan, misteri dan lainnya. Bahkan banyak dijumpai kisah cinta dramatis yang tidak kalah atau bahkan lebih seru dari kisah klasik yang selama ini dikenal seperti Romeo and Juliet, misalnya. Dijamin anda tidak ingin berhenti sampai seluruh seribu halaman dan lebih ini bisa dibaca sekaligus.
BUKU INI MEMANG MENARIK, karena ditulis oleh PENULIS, seorang tokoh utama spiritualisme Islam. Hanya atas dasar latar belakang keilmuan penulis sajalah, buku ini bisa direalisasikan. Tetapi justru karena itulah buku ini menjadi sangat menarik. Selain hasil tulisannya, proses penulisan bukunya sendiri merupakan suatu kisah yang sangat menarik untuk diceritakan. Buku sejarah pada umumnya ditulis berdasarkan bukti-bukti yang ada. Mungkin dari peninggalan atau tanda-tanda yang dijumpai, atau berdasar catatan-catatan yang kemudian di interpretasikan. Interpretasi atau pandangan subyektif penulis sejarah menjadi penting karena seringkali bukti-bukti yang ada tidaklah runtun ataupun lengkap. Contohnya dalam kasus penentuan lokasi Kerajaan Tarumanegara berdasar prasasti yang ditemukan. Hanya saja karena jumlah prasastinya banyak ditemukan di banyak tempat maka para ahli sejarah mengalami kebingungan dalam menetapkan lokasi kerajaan. Padahal pada kenyataannya Raja Purnawarman memang membuat banyak prasasti di batas-batas kerajaannya serta tempat-tempat penting lainnya. Kerajaannya sendiri berada di sekitar Ciaruteun Ilir, disekitar Ciampea - Bogor.
Lain dengan metoda yang digunakan para ahli sejarah, penulis buku ini, menggunakan pendekatan yang sangat berbeda sekali. Penulis “memanggil” pelaku sejarah dan memintanya bercerita tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Tentu saja dalam beberapa kasus, misalnya kisah tentang seseorang sewaktu masih kecil yang tentu dia tidak ingat apa yang terjadi, maka dalam hal ini si ibunyalah yang diminta untuk menceritakan apa yang terjadi dengan anaknya tadi. Kemudian penulis menceritakan ulang kepada kami yang langsung kami ketik di komputer. Penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan ini tentulah sangat akurat, karena sumbernya berasal dari data primer, bukan data sekunder, yaitu dari si pelakunya sendiri. Bukankah tidak ada yang lebih mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, selain tentunya mereka yang mengalami kejadiannya itu sendiri? Permasalahannya adalah siapa yang mampu memanggil si pelaku sejarah, padahal si tokoh sejarah berada di jaman yang lain, yang bisa saja jaraknya ribuan tahun yang lalu. Selain tentunya juga berada di lokasi yang lain, yang jaraknya bisa saja ribuan kilometer terpisahnya.
Disinilah keunggulan penulis. Sebagai seorang tokoh utama spiritualisme Islam, penulis menguasai dengan sangat baik seluruh ilmu-ilmu yang berlandaskan ajaran dan tuntunan Agama Islam, yang tertulis di dalam Al Qur’anul Kariim. Penulisan sejarah seperti ini bukanlah semacam seminar dimana para ahli sejarah diundang dari berbagai negara, tetapi lebih merupakan seminar yang dihadiri oleh para pelaku sejarah yang datang dari berbagai jaman. Atau dengan menggunakan logika yang sama, hal ini sama dengan perjalanan penulis ke masa lampau untuk mengumpulkan bahanbahan tulisannya.
Membayangkan hal seperti ini, untuk kita yang hidup di jaman serba materialistis seperti sekarang ini, tentulah bukan hal yang mudah. Kita ini semakin jauh dari semangat ataupun pengetahuan tentang spiritualisme, apalagi akar pendidikan kita lebih banyak berasal dari Barat yang memang sangat materialistis, sedangkan ilmu-ilmu spiritualisme yang digunakan oleh penulis, justru berasal dari akar ilmu ghoib keislaman. Bahkan buat mereka yang sudah mempelajari ilmu ghoib dalam beberapa tahunpun, kemampuan penulis seperti ini, tetap sangat-sangat mencengangkan dan mengagumkan.
Memanggil “ruh”, sudah umum diketahui, walaupun untuk beberapa kelompok masyarakat hal inipun tetap baru dalam tahapan teoritis, tetapi memanggil para tokoh sejarah, yang berpredikat Raja dan Ratu – bukan lagi peringkat Embah atau Eyang, yang tentunya sangat berilmu dan sakti-sakti, tentu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemampuan yang lebih mumpuni dari mereka. Sehingga para tokoh bisa dipaksa untuk datang. Meminta mereka bercerita, kemudian mengkonfirmasikan seluruh ceritanya, sehingga menjadi masuk akal dan tidak bertolak belakang.
Jadi sangat jelas buku ini merupakan suatu hasil karya dari orang yang mempunyai ilmu yang sangat-sangat luar biasa. Penulis, bukan saja merupakan tokoh utama spiritualisme Islam, tetapi terlebih adalah seorang Guru Besar yang mempunyai murid jutaan orang yang tersebar di seluruh Nusantara, maupun bagian dunia lainnya. Sehingga apa yang dituliskannya di dalam buku ini menjadi sesuatu yang wajar saja bagi beliau. Buat kami yang membantu penulis, proses pembuatan buku ini benar-benar merupakan pengalaman spiritual yang menarik. Penulis seringkali duduk bersama kami di depan komputer, sementara saya (ataupun teman lainnya yang membantu) menekan tuts keyboard komputer, penulis dengan sangat santainya “bercerita”. Ini benar-benar bercerita, seperti orang tua bercerita kepada anaknya sebelum tidur. Hanya saja yang diceritakan merupakan suatu seri kejadian yang sangat-sangat lengkap. Komplit dengan silsilah, tahun kejadian, serta latar belakang mengapa kejadian itu terjadi. Memang seringkali penulis terdiam sesaat, dan kamipun diam tidak berani bertanya apapun, karena kami tahu penulis sedang melakukan dialog atau komunikasi secara ghoib dengan pelaku sejarah. Seringkali kami juga merasakan “kehadiran” si pelaku sejarah. Tidak hanya dalam bentuk rasa atau sir, dimana bulu roma berdiri, tetapi juga seringkali dalam bentuk wujud bayangan-bayangan orang yang berada di sekitar kami. Mungkin tidak terbayangkan, penulis, bisa bercerita, dari pagi sampai tengah malam. Itu artinya lebih dari 18 jam sehari!!! Kami sudah kelenger, dan bisa bergantian beberapa orang untuk mengetikkan, sementara beliau tetap bersemangat dan terus bercerita. Dan proses penulisan ini berjalan lebih dari setahun, dengan intensitas seperti itu. Luar biasa!!!
Jujur saja, kami sangat senang dan antusias mendengarkan cerita penulis, karena apa yang kami dengar adalah hal yang baru. Bukankah ini adalah terbukanya tabir masa lampau? Dan kami adalah orang kedua yang tahu setelah beliau. Kami serasa pergi sendiri ke masa lampau. Pada saat penulis menceritakan kisah Putra Mahkota Raja Tarumanegara (Pangeran Jaya Rangkala) yang bersembunyi di kolong rumah menunggu kekasihnya (Nyi Ranjali), seakan kamilah yang berada di kolong rumah dengan penuh harap dan kecemasan. Pada saat kisah Nyi Blorong selesai ditulis, kami semua sangat prihatin dan ikut sedih dengan perjalanan hidupnya yang penuh penderitaan. Simpati kami, kami berikan kepada Dewi Anggista dan Pangeran Saka Waskita, saat saudara-saudara tuanya memusuhi dan merendahkan mereka. Kami ikut sedih saat Pangeran Mada Setra tidak direstui ayahnya, Prabu Langgatamaran, untuk menikah dengan Putri Raban. Betapa tidak sedih bila mereka dikutuk tidak punya anak, dan harus menunggu hampir 400 tahun lebih untuk punya anak. Itupun mereka sudah dalam wujud ruh, sehingga anaknya harus dititipkan kepada sepasang petani, karena tidak mungkin sepasang ruh mengasuh anak bayi manusia. Kami juga jengkel dengan Prabu Lawaka Dangga, adik dari Prabu Sedah Renggana, yang menyebabkan pertempuran dengan Prabu Kian Santang, anak Prabu Sedah Renggana. Bahkan kamipun “bersimpati” dengan beberapa tokoh hitam dalam buku ini. Sanghyang Jagad Pramundita menjadi jahat karena orang tuanya dibunuh secara kejam. Ki Danggili (tokoh awal pesugihan Banggul) berubah menjadi jahat karena keluarganya dibantai dan dihinakan.
Kisah dalam buku ini memang sangat “menghanyutkan”. Kami kecewa dan sedih dengan hancurnya Kerajaan Kutai maupun Kerajaan Tarumanegara. Betapapun, bagaimanapun kondisi
kelakuan mereka saat hidup, mereka adalah nenek moyang kita. Kami bisa hidup sekarang karena mereka pernah ada. Rasanya tidak pantas kami menghakimi apalagi menyalahkan pilihan hidup mereka, sementara kami tahu latar belakang pilihan mereka. Kami hanya bisa maklum dan mencoba mengerti apapun pilihan mereka. Siapa yang bilang kami akan lebih baik dari mereka, bila kami menghadapi kejadian dan pilihan yang sama? Bukankah itu hakikat dari sejarah? Kita manusia harus belajar dari kesalahan manusia lainnya, yang mungkin saja mereka
justru orang tua, nenek atau bapak moyang kita. Kami merasa pesan itulah yang ingin disampaikan oleh penulis, agar manusia sekarang belajar dari manusia masa lampau. Bukankah kita bisa menghindari perbuatan jelek bila kita tahu mana yang jelek dan mana yang baik? Bukankah sebelum kita tahu kita mau pergi kemana, kita harus tahu lebih dahulu kita ini berasal dari mana? Buat apa kita selalu bertengkar, bukankah kita ini sebenarnya berasal dari satu nenek moyang. Kita ini masih satu darah? Bukankah masa depan itu merupakan bagian dari masa lampau? Kami yakin para pembaca akan merasakan apa yang kami rasakan, setelah membaca seluruh 1400 halaman lebih buku ini. Kami paham bahwa tidaklah mudah untuk meyakini dan menerima seutuhnya bahwa buku ini adalah buku sejarah. Bahwa buku ini menceritakan fakta dan kejadian sesungguhnya. Kalau memang anda tidak berpendapat seperti itu, tak apa. Mari kita lupakan sisi sejarahnya. Tetapi saya yakin satu hal, bahwa buku ini adalah buku yang sangat menarik untuk dibaca. Saya sudah mengeditnya berkali-kali; saya sudah membacanya lebih dari 10 kali, akan tetapi tetap saja saya sangat senang membacanya lagi.
Ada banyak kisah terputus yang belum tuntas diceritakan dalam Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini. Misalnya tentang kehidupan Prabu Sedah Renggana maupun Prabu Kian
Santang, yang hanya diceritakan sedikit saja. Begitu juga perihal kelanjutan Kerajaan Caringin Kurung, mengapa ujungnya harus dipimpin oleh seorang wanita, Nyimas Dewi Saraswati, sebagai Raja Caringin Kurung ke-XIII.
Seperti juga anda, pembaca, kamipun sangat berharap penulis, bersedia mengungkap seluruh kejadian sejarah bangsa ini. Agar semuanya menjadi jelas. Sebab misalnya sulit menerima kenyataan mengapa bangsa Belanda yang jumlahnya sedikit bisa-bisanya menguasai bangsa ini selama lebih dari 3,5 abad. Pasti ada sesuatu yang kita tidak tahu, sehingga bangsa ini mudah diadu domba oleh bangsa lain. Apa yang dituliskan oleh PENULIS , merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa ini. Kita bisa tahu lebih jelas, siapa, mengapanya bangsa ini. Saya yakin buku ini akan tetap dibaca oleh anak cucu kita, mungkin sampai 100 atau 1000 tahun mendatang atau lebih. Bukankah mengetahui sejarah atau masa lampau itu berarti mengetahui siapa jati diri kita ini? Dan jika sudah mengetahui siapa jati diri kita, maka kitapun akan mengetahui siapa Tuhan kita dengan sebenar-benarnya.***
Pengantar oleh:
LISMAN SUMARDJANI, ir, MBA
Editor Penulisan Buku